Jumat, 18 Januari 2013

Abah Alim


Sudah yang ke-empat kali saya pergi ke tempat itu; sebuah sungai yang dalam dengan air yang jernih. Di sekelilingnya nampak asri dengan pokok-pokok kayu yang besar. Di pinggirnya banyak batu-batu besar yang bisa digunakan sebagai tempat duduk sambil menikmati pesona sungai yang menawan. Apalagi jika matahari sudah nangkring di ufuk barat, maka akan keliatan pantulan sinarnya yang kekuningan berkilauan di atas permukaan sungai. Sesekali juga ikan berkecipak ke permukaan sebagai pertanda bahwa ekosistem di sini masih terjaga dengan baik.
 Namun ada satu hal di sekitar sungai ini yang cukup menakutkan bagi kebanyakan orang dan sebab itulah jarang ada yang berani berkunjung yaitu adanya kuburan di sisi sebelah utaranya. Tentu orang-orang akan berdatangan kalo ada yang meninggal dan dikuburkan di sini. atau setiap hari raya Idul fitri. Padahal dari sisi inilah pemandangan paling indah berada dan lingkungannya masih asri. Tapi saya tidak begitu peduli dan merasa tidak punya alasan untuk takut. Malah saya harus bersyukur menemukan tempat keramat ini dan bisa dengan senyap menghabiskan waktuku sendirian.
Kuburan ini memang jauh dari kampung dan orang2 mengkeramatkan dan menyebutnya makam karena yang pertama kali dikubur disini adalah sepasang suami istri saleh yang diyakini sebagai orang yang pertama kali datang ke tempat ini dan memulai pemukiman, cikal bakal kampung-kampung yang tersebar di wilayah ini. Kedua orang itu diyakini sebagai moyangnya. Bersyukur karena hingga wafatnya bisa memberikan manfaat bagi tempat ini. Tidak ada yang berani menebang kayu  sehingga pepohonan lebat terjaga. Burung-burung jika sudah memasuki kawasan ini tidak boleh ditangkap. Begitu pula tidak ada yang berani mengambil ikan-ikan di sungainya. Hal-hal itu adalah wasiatnya. Konon, jika ada yang mengambil ikan di sungai maka dalam mimpinya akan terus  didatangi dan disuruh mengembalikannya.
 Hari sudah hampir malam tapi saya masih betah duduk di atas bongkahan batu yang paling besar sambil menikmati detik-detik matahari yang seperti di telan sungai. Warnanya muncrat kuning kemerahan, seraya membayangkan betapa indahnya punya rumah di tempat ini. Sebuah rumah di pinggiran hutan dengan suara2 aneka burung yang masih terdengar, Begitu juga kecipak air karena ikan yang berloncatan bermain2 dengan sinar mentari sore oranye yang menggoda. Saya  pun jadi merindukan seseorang; seorang perempuan yang akan menemani menghabiskan usiaku di tempat ini. Tentu tidak mudah menemukan seorang perempuan yang sudi mendampingi hidup di pinggiran hutan yang sepi, apalagi ada kuburannya.
Hari sudah benar2 gelap ketika saya merayap menyusuri jalan setapak di pinggiran sungai. Jalan  utama sekitar setengah kilometer jauhnya dan di sanalah di balik semak2 saya menyembunyikan sepeda motor. Tak lama saya sudah memacu kuda besi itu ke arah kampung. Jarak ke kampung sejauh 3 kilometer dan jalan desa ini adalah jalanan berbatu dengan debu yang beterbangan. Jalanan beraspal hanya sampai di tengah desa yang menuju ke kota kecamatan. Itupun sudah hancur luluh karena selalu dilewati truk yang mengangkut berbagai komoditas dari kampung ini seperti tembakau, jagung, padi atau kacang. Tak ketinggalan juga batu, kerikil, tanah dan pasir. Sangat bising untuk ukuran sebuah desa tapi itulah konsekuensi sebagai daerah penyangga untuk kota yang tidak terlalu jauh dari kampung.
Itulah mengapa sesekali saya suka mengunjungi pinggiran sungai keramat itu karena disana saya bisa merasakan denyut alam, bisa merasakan sensasi diri yang seakan menyatu dengan lingkungan sekitar. Saya bisa menghilangkan penat karena harus bekerja seharian di pabrik pembuatan batako dan beton, enam hari dalam seminggu. Pernah terlintas di pikiran saya untuk mengajak teman-teman tapi selalu saya urungkan karena takut semakin banyak yang tahu tempat ini maka keangkerannya akan berkurang dan pada akhirnya bisa mengancam kelestarian alamnya.
Namun ada satu hal yang membuat saya tidak tenang yaitu rencana desa membuat jembatan melintasi sungai tidak jauh dari tempat itu untuk dilewati anak sekolah dan warga antar 2 desa yang bertetangga tersebut. Jalur yang ditempuh selama ini memang agak memutar. Saya tidak bisa membayangkan kalau jembatan membentang di atas sungai itu, cepat atau lambat hutan kecil itu pasti akan terganggu. Tapi saya juga berempati kepada anak2 sekolah yang harus berjalan jauh untuk sampai di sekolah, meski saya pun dulu juga begitu. Malah lebih jauh lagi.
Minggu ini saya kembali duduk di pinggiran sungai sambil memeluk kedua kaki di atas batu yang agak lekuk. Nyaman sekali rasanya sambil sesekali merogoh kantung plastik berisi roti yang kubawa. Saya ingin memberi makan ikan-ikan itu. Dan benar saja, ikan-ikan itu menyambutnya dengan suka cita. Dengan begitu semakin banyak ikan yang nampak di permukaan berebut potongan-potongan roti. Terlihat jelas ikan-ikan tersebut sudah besar-besar dan sehat. Tidak mungkin menemukan hal semacam ini di tempat lain. Kembali aku menengok ke arah kuburan dan merasa berutang budi pada orang tersebut.
Hari merangkak malam ketika saya masih tenggelam dalam lamunan dan tiba-tiba menyadari bahwa dua pohon besar yang berseberangan di pinggir sungai itu ternyata bersambungan. Akar kedua pohon itu bertemu dan seolah2 seperti sedang salaman dengan sangat erat. Air sungai yang mengalir mengayun-ayunkan akar-akaran itu sehingga saya merasa kedua pohon itu seperti hidup dan sedang berbincang-bincang. Akrab sekali. Saya takjub melihat dahan-dahan yang bergoyang, bersenggolan dengan pohon di sebelahnya lalu berdecit-decit. Daun-daun yang berpilin-pilin jatuh dan angin yang lembut menyapa mereka. Ada irama yang terus-menerus terjadi seiring tumbuh dan berkembangnya.
Tapi tiba-tiba saya hampir terjengkang dan berusaha lari ketika tanpa kusadari ada sesosok serba hitam di depan menyapa saya. Dari suaranya jelas dia adalah seorang kakek yang sudah sangat renta.
"nak!" katanya lirih
"anda siapa?" saya berseru gemetaran
"saya pemilik tempat ini" katanya datar
"ini adalah hutan dan kuburan.  tidak ada yang punya tempat ini" seruku seraya beringsut ingin menjauh
"semua tempat punya pemilik dan jangan takut, saya juga manusia biasa sepertimu" katanya menenangkan
"tapi saya tidak melihat wajahmu dan kenapa saya tidak mengenalmu" kali ini saya sudah agak tenang
"orang-orang tua mungkin mengenal saya tapi yang muda-muda seperti kamu tidak karena saya sudah lama sekali menghilang dan bersembunyi di tempat ini"
Sekarang saya jadi ingat cerita ibu saya bahwa ada cucu dari orang yang dikuburkan disini dulu menghilang dengan misterius ketika dia sering main-main ke tempat ini. Orang-orang menduga dia tewas terseret arus sungai atau dimangsa oleh binatang buas seperti ular yang kemungkinan masih ada di tempat ini.
"apa benar kakek adalah abah alim yang menghilang itu?" tanyaku penasaran
"ya, nak. Saya memang sengaja menghilang dan memilih tinggal disini karena merasa tempat ini adalah milik saya. Tempat jiwa saya. Saya harus menjaga tempat ini bagaimanapun caranya seperti wasiat kakek nenek saya" katanya agak tegas
"bagaimana kakek bisa hidup sampai sekarang, sementara disini tidak boleh menebang pohon, mengambil buah atau menangkap ikan?"
"kenapa gak boleh?"
"orang2 bilang seperti itu" kataku bingung
"orang2 itu tidak mengerti dan cenderung berlebihan. Tidak ada yang salah dengan menebang pohon, memetik buah atau menangkap ikan di manapun itu asal tidak berlebihan. Asal tidak merusak wadahnya, tidak mengambil lebih dari kebutuhannya. Tahu kapan harus memetik, ada tata caranya, tahu yang mana ikan yang seharusnya ditangkap sehingga kita tidak memutus penerusnya. Jika dilakukan dengan benar maka apa yang disediakan oleh alam sudah lebih dari cukup untuk hidup sejahtera dan damai. Begitu pula dengan mahluk yang lain, akan tentram dengan dunianya sendiri sehingga dapat saling memberi dan menerima  dengan manusia dan alam"
Saya terkesima mendengarkan penjelasan sang kakek; kenapa kakek yang datang dari masa lalu ini dan hidup sebatang kara di tempat yang angker begitu bijak?
"Sebenarnya saya juga kerasan di tempat ini kek, dan berharap suatu saat ingin punya rumah dengan suasana seperti ini"
"tapi saya sangsi ada sosok perempuan yang mau mendampingi saya"
"ooh.." kakek itu mendesah
"nak, kamu tahu tempat di seberang pegunungan ini?" katanya sambil menunjuk ke arah utara
"puncak" kataku mantap
"dulu sewaktu saya masih muda saya pernah jalan sampai kesana melewati gunung itu. Disana sedang dibangun banyak sekali rumah yang bagus untuk dikunjungi orang2 dari kota. Kamu tahu, ada satu rumah yang saya lihat didiami perempuan yang menunggu kedatangan laki2 dari kota. Dan rumah2 seperti itu semakin banyak dan semakin banyak pula perempuan2 yang menunggu. Nak.. Laki2 dan perempuan itu menjadi sangat berbahaya jika bertemu di tempat seperti itu,  mereka akan meminta lebih banyak hutan lagi untuk tempat kasur empuk mereka".
"Jadi itu kenapa kakek enggan menikah?" tanyaku dengan nada selembut mungkin
"mungkin ya tapi mungkin juga tidak. Saya tak harus menikahi seorang perempuan untuk mendampingi hidup saya. Angin semilir bisa menjadi seorang istri yang setia. Atau suara gemiricik air sungai itu bisa membuat kita jatuh cinta setiap saat. Saya tidak ingin menikahi seorang perempuan untuk memuaskan nafsu laki2 saya karena ternyata itu juga bisa saya lakukan sendiri jika saya mau"
"hah.." saya terperangah mendengar penjelasan sang kakek renta. Saya jadi berpikir bahwa inilah hasil semedinya selama bertahun-tahun di tempat keramat ini?
"tapi perempuan harus kita nikahi dengan benar untuk menjaga kualitas hidup yang kita bawa karena perempuan adalah tempat persemaian untuk menumbuhkan bibit-bibit  yang akan merawat kehidupan ini. Kita, yang lahir dari rahim seorang ibu akan membawa pesan berantai ini dan hanya bisa kita terima dengan sempurna melalui sosok perempuan yang baik".
"dan kita sebagai laki2?"
"Kita si penitip pesan, yang bisa baik dan buruk. Keadaan sekarang membuktikan bahwa pesan-pesan yang kita bawa banyak yang buruk atau karena kita titipkan pada sosok yang salah"
Saya berdiskusi cukup lama dengan sang kakek dalam kegelapan dan akhirnya saya merasa harus pamit pergi.
“maaf kek, saya harus pergi, malam sudah sangat gelap” kataku serasa mengacungkan tangan untuk bersalaman. Kami bersalaman dan saya kembali kaget karena kakek memegang tangan saya dengan kencang. Bahkan, merasa dia meremas-remas tangan saya.
“kek..saya harus pergi” kataku kembali ketakutan
“nak, bisakah kamu menemani saya disini satu malam saja” dia berkata begitu sambil memegang lengan saya dan membuat saya tambah ketakutan. Keadaan ini membuat saya dengan sekuat tenaga menarik tangan saya dan melarikan diri dari tempat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar